Yogyakarta, suarapasar.com – Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) menilai satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka belum membawa perubahan nyata bagi nasib pekerja di Indonesia. Dalam rilis resminya, MPBI DIY memberikan rapor merah terhadap kinerja pemerintah di bidang ketenagakerjaan, terutama terkait janji kerja layak, perlindungan sosial, dan keadilan ekonomi yang belum tampak dalam kebijakan konkret.
Masalah upah menjadi sorotan utama. Berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) MPBI pada Oktober 2025, kebutuhan rata-rata pekerja di DIY mencapai Rp 3,6 juta hingga Rp 4,45 juta per bulan. Namun, upah minimum kabupaten/kota masih jauh di bawah angka tersebut. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar antara biaya hidup dan penghasilan buruh, sementara kebijakan pengupahan dinilai belum memenuhi prinsip keadilan sosial.
MPBI DIY juga menyoroti terus meluasnya praktik sistem kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing di berbagai sektor, mulai dari industri hingga layanan publik. Sistem ini membuat pekerja hidup dalam ketidakpastian tanpa jaminan kerja maupun penghasilan tetap. Pemerintah dianggap belum menunjukkan komitmen kuat untuk memperketat atau menghapus praktik tersebut yang menjadi sumber utama kerentanan pekerja.
Kebijakan ketenagakerjaan pun disebut belum berpihak pada kelompok rentan. Perlindungan bagi pekerja perempuan, penyandang disabilitas, serta pekerja sektor informal masih lemah. Salah satu indikatornya adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga kini belum menemui kejelasan.
Pekerja seni, kreatif, dan digital juga menjadi perhatian MPBI DIY. Mereka yang bekerja di platform daring masih belum diakui dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan, bekerja tanpa jaminan sosial dan kepastian upah. Pemerintah dinilai belum memiliki kebijakan konkret untuk melindungi kelompok ini.
Selain itu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi di berbagai sektor sepanjang tahun pertama pemerintahan ini. Pengawasan ketenagakerjaan yang lemah serta lambatnya penyelesaian sengketa industrial memperburuk kondisi pekerja.
Berdasarkan hasil evaluasi, MPBI DIY menyampaikan tujuh tuntutan utama kepada pemerintah pusat dan daerah:
- Menetapkan upah minimum tahun 2026 setara dengan kebutuhan hidup layak (KHL) di seluruh kabupaten/kota DIY.
- Menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menjerat pekerja dalam hubungan kerja tidak pasti, serta memastikan status kerja tetap bagi mereka yang memenuhi syarat.
- Segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap kelompok pekerja domestik.
- Menjamin perlindungan hukum dan sosial bagi pekerja seni, kreatif, digital, dan aplikasi, termasuk pengakuan status kerja dan hak jaminan sosial.
- Memasukkan prinsip kesetaraan gender dan inklusi ke dalam seluruh kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan.
- Memperkuat pengawasan ketenagakerjaan, menghentikan gelombang PHK, dan mempercepat penyelesaian sengketa industrial secara adil dan transparan.
- Segera bentuk UU Ketenagakerjaan baru tanpa omnibus law, inklusif, dan berbasis gender.
Satu tahun pemerintahan seharusnya menjadi momentum mempertegas komitmen terhadap keadilan bagi buruh, namun kenyataan di lapangan menunjukkan arah sebaliknya. Buruh masih hidup dengan upah yang tidak layak, status kerja yang tidak pasti, serta perlindungan hukum yang lemah. MPBI DIY menegaskan, perbaikan hanya dapat terwujud jika pemerintah benar-benar menempatkan kepentingan pekerja sebagai pusat kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional.(prg,wur)
Yogyakarta, 20 Oktober 2025
Koordinator MPBI Daerah Istimewa Yogyakarta
Irsyad Ade Irawan








