Yogyakarta, 30 Oktober 2025, suarapasar.com – Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menggelar Aksi Mimbar Bebas di Tugu Yogyakarta sebagai bentuk protes terhadap kondisi sosial-ekonomi yang dinilai semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial. Aksi ini menjadi wadah bagi rakyat pekerja untuk menyuarakan kesulitan hidup akibat kenaikan harga dan upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar. Dari buruh pabrik hingga pekerja rumah tangga (PRT), pekerja kreatif, dan pengemudi ojek daring, semua menyampaikan pengalaman serupa: “bekerja keras, tetapi tetap hidup dalam ketidakpastian”.
MPBI DIY menyoroti bahwa kerja seharusnya menjadi sarana manusia untuk hidup bermartabat, namun sistem ekonomi yang berjalan justru melahirkan ketimpangan dan menempatkan jutaan pekerja dalam posisi rentan tanpa perlindungan dan kepastian. Menurut mereka, kondisi ini merupakan bentuk penindasan struktural yang terus dipertahankan oleh kebijakan negara yang lebih memihak pada pemodal.
MPBI DIY menegaskan, pembahasan kesejahteraan buruh tidak bisa dilepaskan dari keberanian negara dalam membenahi struktur ekonomi yang timpang. Mereka menilai Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) se-DIY saat ini belum mencerminkan standar hidup layak. Berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan, seorang pekerja di Yogyakarta memerlukan setidaknya Rp 3,6 juta–4 juta per bulan. Karena itu, MPBI DIY menuntut pemerintah menetapkan UMP dan UMK se-DIY tahun 2026 pada kisaran tersebut sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap rakyat pekerja.
Selain itu, MPBI DIY juga menyerukan agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) untuk memberikan perlindungan hukum bagi PRT yang selama ini bekerja tanpa kontrak dan tanpa jaminan sosial. Mereka menegaskan bahwa negara tidak boleh lagi mengabaikan kerja domestik yang menopang perekonomian rumah tangga.
MPBI DIY turut menyoroti nasib pekerja kreatif dan pengemudi ojek daring (ojol) yang beroperasi dalam sistem digital namun belum memiliki jaminan sosial. Mereka mendesak pemerintah menetapkan kebijakan perlindungan sosial universal bagi seluruh pekerja, termasuk di sektor informal dan digital, serta memastikan akses terhadap upah minimum yang adil.
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran dinilai belum menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat pekerja. Menurut MPBI DIY, demokrasi sosial melemah sementara kekuasaan modal semakin menguat. Mereka menyatakan bahwa pemerintah gagal menghadirkan negara yang berpihak kepada buruh.
Oleh karena itu, MPBI DIY menyampaikan lima tuntutan utama:
- Menetapkan UMP dan UMK Se-DIY 2026 pada kisaran Rp3,6–Rp4 juta sesuai hasil survei kebutuhan hidup layak.
- Mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) tanpa penundaan.
- Melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Ketenagakerjaan agar berpihak kepada buruh.
- Mengakui dan melindungi status kerja pekerja platform digital seperti ojol dan kurir daring sebagai pekerja formal.
- Menjamin kebebasan berserikat dan berekspresi bagi seluruh rakyat pekerja sebagai bagian dari demokrasi.
Bagi MPBI DIY, perjuangan buruh bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga perjuangan politik untuk mengembalikan makna demokrasi sebagai kedaulatan rakyat. Mereka menegaskan bahwa Mimbar Bebas ini bukan hanya ruang orasi, tetapi wujud nyata perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik.(prg,wur)






